Selasa, 08 Juni 2010

sejarah suku tengger

Kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru tidak banyak memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap kehidupan masyarakat Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma. Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah Penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M yang menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci. Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman, yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan.

Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama Suku Tengger tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha. Kemungkinan kedua, masyarakat Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.

Suku Tengger sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger juga menegaskan bahwa kata Tengger mengacu kepada pengertian Tengering Budi Luhur (Tanda Keluhuran Budi Pekerti). Walaupun semua prasasti belum dapat mengungkapkan sejarah yang jelas mengenai asal mula suku Tengger, namun adat dan kebudayaan tetap terjaga sampai sekarang.

Pemuka adat atau dukun di Suku Tengger merupakan para pewaris aktif tradisi Tengger. Berdasarkan Sudjatno (1994), dukun bagi Suku Tengger adalah pemuka masyarakat yang berperan sebagai pusat nilai-nilai. Peran yang setrategis itu menyebabkan dukun dijadikan sebagai panutan masyarakat, pemimpin religi, agen perubahan, dan juga sebagai pusat konsultasi masyarakat dan biasa disebut dukun gedhe (dukun besar). Sedangkan dukun yang dapat menyembuhkan dan membuat orang menjadi sakit adalah dukun cilik (dukun kecil) (Sutarto, 2007). Saat ini, keberadaan dukun cilik (Batra) di Kecamatan Sukapura sudah tidak ditemukan (Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis pada bulan Mei 2009), sehingga diperlukan kembali penggalian pengetahuan pengobatan tradisional di Suku Tengger untuk pelestarian keanekaragaman budaya suku bangsa.